Mawar Hati

9 September 2009. Langit terlihat cerah  siang itu, seperti sebuah lukisan di atas kannvas yang di beri cat biru muda dan dibubuhi gerombolan awan putih bak kapas yang beterbangan.
Bus NPM  yang ditumpangi Seffa baru saja beranjak pelan meninggalkan terminal Rawamangun Jakarta, sang kondektur yang baru saja meng-absen semua penumpang pun kini sudah kembali ke bunkernya. Para penumpang terlihat sibuk dengan dunianya masing-masing. Ada yang langsung menyandarkan kepalanya ke belakang sambil memejamkan matanya, ada juga yang membaca Koran dan majalah yang dibeli dari lopper asongan yang selalu setia menemani para pemudik sebelum bus berangkat.
Seffa melihat ke luar lewat kaca jendela di sampingnya, terlihat gedung-gedung tinggi, bangunan-bangunan mewah, pedagang minuman yang tetap jualan meskipun ini adalah Ramadhan, diluar sana juga terlihat taman-taman hijau ditengah panasnya Jakarta.

Tidak terasa, sudah lima tahun ia berada untuk meraih mimpi di negeri Batavia itu dan kini ia akan pulang ke kampung halaman tercintanya untuk melepas rindu pada Ibundanya tercinta dan adik perempuannya, sekaligus ziarah ke makam ayahnya yang meninggal 2 tahun lalu. Ada senyum bahagia tersungging di bibirnya, karena sebentar lagi ia akan bertemu dengan ibu yang sangat dicintainya. Lima tahun di rantau orang, Seffa memang baru pulang satu kali ke Padang-Pariaman. Itu pun hanya selama empat hari, dua tahun yang lalu ketika ayahnya meninggal dunia.
Betapa ia sangat merindukan peluk hangat ibunya. Hatinya tak kuasa mehahan haru dan rindu yang berdebam-debam di dadanya.

“ibu, dalam rinduku, hanya ada bayangmu
Dalam sujudku, hanya ada doa untukmu
Walau ruang dan waktu terbentang begitu jauh…
Tapi, cintamu akan selalu utuh
Memelukku. “


Itu adalah puisi yang ditulis di dinding kost-annya ketika ia tinggal dan bekerja di Karawang. Sejak kepergian ayahnya dua tahun yang lalu, Seffa selalu berusaha menjadi anak yang berbakti dengan cara membahagiakan hati ibunya. Setiap kata-kata dan nasihat ibunya selalu dijunjungnya dan di simpan dalam nampan pualam beralaskan sutra. ia tidak pernah sekalipun membantah apa yang dikatakan ibunya.  Karena ia tahu, kini ia hanya memiliki satu pintu yang masih terbuka untuk menuju surgaNya. Dan ia tidak akan menyakiti Ibundanya apapun alasannya.
Pernah ia menolak permintaan juragan kontrakan di Karawang yang meminta agar ia mau menikah dengan putri tunggalnya, ia menolak permintaan juragan itu karena ibunya pernah pesan agar mencari jodoh orang Minang saja.
Karena cuaca Jakarta cukup panas Seffa  pun tertidur lelap, dalam mimpinya, Ia melihat Ibu dan adiknya tersenyum padanya kemudian setelah itu, ia juga melihat sosok seorang wantia mengenakan gamis putih dan berjilbab putih tersenyum kearahnya, ia sangat mengenal wanita itu, dia adalah Shesfi, gadis manis asal Kerinci yang dikaguminya sejak masih duduk di bangku SMP, tapi ketika Seffa hendak  menghampiri wanita itu, ia malah pergi menjauh.
Seffa telah jatuh hati pada Shesfi saat masih cinta monyet zaman SMP dulu, tapi ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya itu sampai sekarang, diantara yang jadi pengahalang niatnya adalah karena walaupu lahir dan sekolah di kampung yang sama dengannya, Shesfi bukanlah orang Minang, shesfi tinggal di Minang karena ayahnya seorang tentara yang dinas dan bertugas di Padang-Pariaman. Selain itu sekarang Shesfi sedang menyelesaikan studi S1 di UNP Padang, sedang dia hanyalah seorang lulusan SLTA. Apalagi dua bulan yang lalu Seffa dapat berita bahwa Shesfi telah bertunangan yang membuat semangatnya semakin hilang untuk mencintai Shesfi, bahkan ia sampai sakit karena berita itu.
“Yang mau shalat, yang mau shalat...? ayo turun...! waktu Ashar telah masuk kita akan berhenti setengah jam” kondektur bus berteriak dengan suara khasnya. Seffa terbangun dari mimpinya dan segera turun dari bus untuk shalat Ashar.

@@@@
Malam baru saja beranjak ke peraduannya, suara jangkrik mulai terdengar di semak-semak, meramaikan sepinya malam yang selalu dilalui July dan emak di rumahnya di ujung desa. July menatap wajah emaknya yang sudah terlelap itu, kemudian menutupkan kain panjang batik ke seluruh badannya yang sudah ringkih di makan usia. July sangat mencintai emaknya, ia berubah sejak ayahnya meninggal dan tinggal hanya berdua dengan emaknya, dulu ia adalah anak bandel yang suka melawan. Malam itu July harap-harap cemas, karena kalau tidak ada kendala kakak laki-lakinya tercinta yang telah lima tahun merantau ke Jakarta akan sampai di rumah sebelum waktu sahur. Tepat jam dua July dibangunkan emaknya ”Abang mu sudah ngasih kabar dia sampai dimana?” tanya emak. ”belum mak...., mungkin HPnya lowbat, kan dia sudah dua hari diperjalanan”.

@@@@
Pagi itu sekitar jam dua dini hari udara di Sicincin terasa sangat dingin, gerimis kecil menyambut kedatangannya menginjakkan kaki di Bumi Pariaman yang telah lima tahun ia tinggalkan. Bus NPM yang ia tumpangi baru saja berlalu di hadapannya. Seffa mengeluarkan HP dari dalam tasnya untuk mlihat jam, tapi HPnya mati karena selama tiga hari diperjalanan tidak dicharger. Beberapa tukang ojek yang biasa mangkal di terminal Sicincin segera menghampirinya. ”ojek diak.... pulang kama? (ojek dek mau pulang kemana?)” begitu sapaan khas tukang ojek disana. Setelah terjadi tawar menawar harga akhirnya, Seffa sefakat membayar dua puluh lima ribu untuk ongkos ojek dari Sicincin ke Sungai Sarik- pariaman, kampung halamannya.
Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam tukang ojek yang cekatan telah mengantarkan Seffa sampai di halaman rumahnya di ujung desa, ia sudah tidak sabar segera bertemu dengan Ibunda dan adiknya July, mata Seffa terasa panas, ia tidak bisa menahan buliran-buliran bening yang berloncatan keluar dari kelopak matanya. Dadanya terasa sesak karena menahan berpuluh juta kerinduan yang bersemayam di dadanya. ”benar Mak... itu abang pulang...” dari balik tembok kusam rumah tua itu Seffa mendengar suara adiknya berkata pada emak. Pintu dibuka, Seffa yang sudah dari tadi menahan sesak di dadanya segera berlari memeluk emak dan adiknya, suara tangis pecah mengiringi waktu sahur di pagi itu.

@@@@
Pagi yang masih menyisakan embun, karena matahari masih malu-malu untuk memperlihatkan wajahnya pada bumi. Orang-orang kampung baru saja selesai melaksanakan shalat Ied, pagi itu adalah pagi lebaran. Setelah silaturrahmi ke tetangga dekat, Seffa kembali ke rumah. Dia bersiap-siap karena Zainal temannya dan juga tetangga Shesfi yang baru saja pulang dari Kalimantan akan menjemput dan mengajaknya reunion bersama teman-teman lama waktu sekolah dulu.
Hari itu seharian Seffa dan Zainal keliling mengunjungi rumah demi rumah teman lama untuk reunion sekaligus mengantar undangan karena Zainal akan segera menikah lebaran ini.

@@@@
Sore yang lembayung, sang mentari yang selalu setia menemani siang mulai beranjak pergi meninggalkan langit Pariaman petang itu. Shesfi merebahkan badannya di atas tempat tidur, ia baru saja selesai memasak untuk makan malam ayah dan empat orang adiknya. Sejak mamanya meninggal empat bulan yang lalu, dia lah yang mengurus semua pekerjaan rumahnya.
”semua pekerjaan sudah beres, mau ngapain lagi ya...?” Shesfi berkata dalam hati.
”SMS teman-teman Ah... ngucapin selamat lebaran” Gumamnya lagi
Setelah selesai mengetik kata-kata ucapan selamat lebaran di HP bututnya, pada menu option di HPya dia memilih kirim ke banyak, dan mulai ia memilih satu per satu nomor kontak yang akan dikiriminya ucapan selamat., tapi tangannya terhenti mencet keypad saat kontak yang akan dipilihnya menunjukkan sebuah nama ”SEFFA”,
”kirim ga’ ya....., kirim ga’ ya....?
Dia ragu-ragu karena hatinya selalu berdebar saat membaca atau mendengar nama itu. Dia sendiri juga tak pernah tahu kenapa., yang ia tahu hanyalah dulu waktu SMP ia begitu kagum pada Seffa karena kepintarannya, tapi ia juga sering kesal karena Seffa suka jahil di kelas.
”ah...., kirim aja lah..... OK!”
Di layar HPnya muncul tulisan ”Pesan Terkirim”

@@@@
Sementara itu, Seffa sedang berada di rumah Ratna bersama Zainal merasakan getaran Handphone di saku celananya. Ketika di unlock terlihat tulisan ”satu pesan diterima” ketika dibuka......... satu pesan baru dari nomor +628xx74423xxx
”selamat idul fitri 1430 H, mohon maaf lahir dan bathin. Shesfi dan keluarga besar”
Membaca SMS itu hatinya berdebar kencang, seorang gadis yang nomornya telah ia hapus dari kontaknya dan dengan mati-matian dia lupakan, kini seakan hadir di hadapannya, dengan keluarganya. Seffa segera menguasai dirinya dan bersikap tenang agar Ratna dan zainal tidak curiga.
Seffa memberanikan diri untuk membalas
”aq skrg lg di kmpung, ibu’ dimana? Leh g’ aq maen ke rumah ibu’?"
Tak lama kemudian ada balasan....
”Fi lagi di S. Sarik, maen la ke sini... ntar malam aja, coz sekarang dah mo magrib”
”OK.......” Seffa kembali membalas
Malam pun datang setelah shalat Isya Seffa menelpon Zainal
”Nal,, Jemput saya donk..! saya mau ke rumah Shesfi”
”Tunggu aja, saya akan datang” jawab Zainal.
Malam itu Seffa tidak tahu apa yang ia rasa dan fikirkan, yang jelas dia tau bahwa dia akan segera melihat dengan mata kepalanya sendiri pujaan hatinya telah berkeluarga, dan bahagia bersama orang lain. ”Tapi tak apa lah, hitung-hitung silaturrahmi” fikirnya.

@@@@
Malam yang cerah, angin bertiup sepoi membelai kerudung bidadari yang menari di permadani langit bersama untaian bintang-bintang dan bulan sabit yang seakan tersenyum riang. Di atas motor dalam perjalanan pulang dari rumah Shesfi, hati Seffa berbunga-bunga, dia baru saja tahu bahwa Shesfi belum menikah dan tidak pernah tunangan. Dia merasa mempunyai jiwa yang baru dalam jasadnya, tapi seperti dulu dia tetap tidak sanggup mengungkapkan perasaannya itu.
Baru saja sampai di rumah, handphone-nya berdering dia melihat di layarnya tertera ”Shesfi Memanggil” dia terlonjak kaget.
”hallo, Assalamualaikum.....”
” waalaikum salam, uda besok telpon fi ya..! Fi mau nanya sesuatu sama uda”.
”kamu mau nanya apa? tanya aja sekarang,,”
”ga’ bisa, kita harus ketemu”
”ya udah besok habis subuh aku telpon... asalamualaikum”

@@@@
30 september 2009; Di tengah dinginnya pagi, kicau burung datang mengusir suara jangkrik begitu riuhnya, sang fajar yang datang mengantarkan pagi baru saja berlalu, tapi sang mentari yang bersembunyi dibalik tirai embun masih enggan memperlihatkan keperkasaannya. Permadani lazuardi biru yang biasanya menghiasi cakrawala Pariaman, pagi itu seakan pergi jauh entah kemana. Shesfi bangkit dari sajadahnya, ia baru saja selesai membaca Al-Qur’an yang dimulainya sejak habis shalat subuh. Biasanya dia akan langsung membangunkan adik-adiknya dan menyiapkan keperluan sekolah mereka. Karena masih libur lebaran, kegiatan itu tidak dilakukannya. Dia berencana melanjutkan ketikan bahan skripsinya. Belum sempat ia menyalakan komputer handphone-nya berdering. Di layar tertulis ”SEFFA Calling”
”assalamualaikum, uda...” Shesfi lebih dulu memulai pembicaraan.
”wa-alaikum salam, lagi ngapain...?” Seffa menjawab
”lagi nelpon”, jawab Shesfi bercanda.
”Mank nya kamu mau nanya apa sama uda? Dan kenapa juga kita harus ketemu?” terdengar suara Seffa penasaran karena disuruh nelpon oleh Shesfi semalam.
”iya sebenarnya kita memang harus ketemu, tapi siang ini Fi mau ke Padang ada keperluan di kampus, uda cerita sekarang aja ya Fi mau nanya sesuatu...” jaeab shesfi santai.
”iya, kamu mau nanya apa...?” Seffa makin penasaran.
”Fi cuma mau nanya, kenapa uda mau pulang kampung ga’ ngasih kabar ke Fi?, pdahal dulu uda sering nelpon, tapi akhir-akhir ini sama sekali uda menghilang..., kenapa uda? Fi punya salah sama uda...?” terdengar suara Shesfi sedikit tinggi diseberang telpon.
Seffa terterdiam setelah mendengar pertanyan dari Shesfi, jantungnya berdebar kencang, aliran darahnya terasa begitu derasnya, seketika ia merasa badannya panas dingin hingga ia berkeringat ditengah dinginnya udara pagi itu. Betapa tidak, jika dia menjawab jujur sama saja dia mengungkapkan rasa sayangnya pada Shesfi, suatu hal yang selama ini terasa begitu berat baginya. Sedangkan kalau ia tidak jujur hari ini kapan lagi perasaan cinta yang selama ini begitu menyiksanya akan terungkap.
”Hallooo..., masih ada orang disana...?” suara Shesfi membangunkan Seffa dari lamunannya.
”ma... masih lah... ga’ uda ga’ tidur kok...” jawab Seffa dengan terbata-bata dan berkata sekenanya.
”lalu kenapa diam...? ga bisa jawab..?” Shesfi terus mendesak.
Seffa yang dari tadi diterpa kebimbangan antara berkata jujur atau tidak telah memutuskan untuk jujur dan mengungkapkan segalanya. Sekuat tenaga Dia mengumpulkan semua keberanian yang masih tersisa.
”ok... oke uda akan jawab,, tapi kamu jangan marah ya...?” Seffa terbata-bata.
”napa harus marah...?” terdengar suara Shesfi bersahabat.
Seffa menghirup nafas dalam-dalam, ia berusaha menguasai dirinya, tapi jantungnya berdetak semakin kencang. Seluruh darahnya terasa naik ke ubun-ubun, tapi dia tetap harus berani.
”se... seb... eh...! dua bulan yang lalu uda nelpon kamu, tapi yang jawab cowok, dan cowok itu ngaku tunangan kamu. Dan sejak saat itu nomor kamu uda hapus dari kontak uda, makanya uda ga’ ngasih kabar, kalau uda pulkam” jawab Seffa berusaha santai.
” kemaren kan uda juga sudah lihat sendiri kalau Fi belum merid dan ga’ pernah tunangan. Kalupun Fi sudah merid, kita kan sudah berteman sejak SMP, kenapa nomor Fi dihapus.....? kenapa....?” Shesfi terdengar agak kecewa dengan jawaban Seffa.
Sementara Seffa sudah tidak bisa lagi mengendalikan dirinya. Dia berteriak di telpon....
”karena uda suka sama kamu.... karena uda sayang sama kamu...., dan perasaan ini telah terpendam sejak SMP, tapi uda merasa kamu terlalu indah bagi ku”....
Bagai ada yang menghentikan aliran darahnya..... Shesfi merasa tubuhnya kaku mendengar kata-kata terakhir yang keluar dari speaker HP-nya. Pikirannya terbang jauh melayang-layang menembus batas waktu kembali ke ruang kelas 2.1 SLTPN 1 VII Koto sembilan tahun yang lalu.
Di ruang kelas itu ia duduk di deretan bangku paling depan. Di ruang kelas itu murid-murid perempuan selalu masuk ke kelas lebih dulu dari pada murid laki-laki. Di ruang kelas itu setiap hari selalu dia memperhatikan seorang siswa yang duduk paling belakang lewat di depan dan di lorong samping mejanya. Siswa itu adalah sang bintang juara kelas kelas 2.1, siswa itu adalah sang ketua kelas yang menjengkelkan dan suka jahil di kelas, siswa itu adalah Seffa yang sekarang dipanggilnya uda karena lebih tua darinya.
Kemudian khayalan Shesfi melayang menembus waktu setahun berikutnya, ke ruang kelas 3.2. Di ruang kelas itu ia juga duduk di deretan bangku paling depan. Di ruang kelas itu setiap hari juga ia memperhatikan seorang siswa yang duduk paling belakang, setiap kali siswa itu lewat di depan mejanya. Siswa itu selalu membuat dia tertegun membaca namanya saat dia disuruh wali kelas mengabsen seluruh siswa. Siswa itu masih bernama Seffa, yang baru saja berkata sayang padanya. Dia tidak tahu apakah karena menunggu kata-kata itu selama ini dia selalu gugup saat mendengar nama itu.
Tiba-tiba Shesfi keluar dari dunia khayalannya, sa’at ia teringat sebuah nama pemuda lain di pikirannya, seorang pemuda yang selama ini begitu baik padanya. Pemuda yang selalu bersedia membantunya jika ia mambutuhkan. Pemuda itu satu kampus dengannya. Pemuda itu juga yang sebenarnya mengaku sebagai tunangannya. Pemuda itu bernama Hasnul. Dan yang paling membuat ia tertekan adalah pemuda itu telah melamarnya, walupun dia belum menjwab lamaran itu.
Shesfi merasa bahwa sesungguhnya yang dia cintai hanyalah Seffa, sesungguhnya yang dia sayangi hanyalah Seffa. Sesungguhnya yang ia harapkan kehadirannya dalam mimpi-mimpinya hanyalah Seffa. Tapi jika ia menolak lamaran Hasnul, ia akan merasa sangat berhutang budi. Selama ini Hasnul begitu baik padanya. Hasnul selalu ada sa’at dia sedang sedih, Hasnul selalu ada sa’at dia butuh kasih sayang seorang ayah yang hilang darinya, karena ayahnya sangat pemarahnya. Shesfi merasakan sedang berada dalam dilema kebimbangan yang teramat sangat. Dan tanpa disadarinya air matanya yang bening menetes membasahi pipi mungilnya. Air mata yang selama ini tak pernah hadir di pipinya karena telah kering didera kesedihan yang ia rasakan sejak kecilnya. Kesedihan karena KDRT oleh ayahnya.
Sesa’at lamanya tidak terdengar kata-kata dari kedua insan yang sedang on-line itu. Seffa yang telah bisa menguasai dirinya mencoba memecah kebekuan....
”dan satu hal lagi, kamu tidak cocok untuk dijadikan pacar Fi, karena uda mang ga’ suka pacaran. Kamu lebih pantas dijadikan istri..........., masalahnya adalah uda ga’ pantas jadi suami kamu, kamu adalah seorang intelektual yang sebentar lagi jadi sarjana. Sementara siapalah uda....?”
Kata-kata Seffa membangunkan Shesfi dari lamunannya.
”uda....., Fi ga’ pernah melihat seseorang itu dari kastanya. Kenapa uda baru ngomong sekarang, sungguh saat ini Fi berada dalam kebimbangan. Fi ga’ bisa jawab sekarang.........., udah dulu ya nelponnya.. Fi udah ga’ tahan... Fi mo nangis.... Asalamualaikum..... tut.. tut... tut..” Shesfi berkata dengan suara serak karena menangis.
Sementara Seffa tidak paham apa yang terjadi, mengapa Shesfi menangis? Apakah kata-katanya telah melukai perasaan Shesfi..? gumam Seffa dalam hati. Seffa mencoba menghubungi kembali nomor Shesfi, namun yang dengar hanyalah jawaban dari operator ”nomor yang anda tuju sedang tidak aktif”.
@@@@

30 September 2009. Sore yang mendung, mentari yang perkasa tidak mampu menyingkirkan tirai kelabu yang menutupi cakrawala Ranah Minang hari itu. Shesfi dan dua orang temannya baru saja keluar dari gerbang UNP, ia baru saja selesai bimbingan. Setelah pembicaraannya di telpon dengan Seffa pagi tadi pikirannya tidak bisa fokus, di benaknya ada dua orang pemuda yang muncul silih berganti.
Tiba-tiba dari arah belakang, Shesfi dikagetkan oleh suara cempreng sahabatnya Dewi ” duaarrr.....! dari tadi bengong aja, tau gak? anak kambing tetanggaku, kemarin mati mendadak lho...gara-gara bengong kayak kamu.”
”iih apaan sih, siapa juga yang bengong?” jawab Shesfi setengah kaget.
”oooh gitu ya.. sebelum pulang kita ke Basko Mall dulu yuuuk. Refreshing dan sekalian shalat ashar disana... gimana.....?
”gimana Wen...?” Shesfi minta persetujuan Weni.
”Ayoo aja mah” jawab Weni setuju....
@@@@

Di sebuah warung di ujung desa, para pemuda tengah asyik bercanda dan bercerita. Kongko-kongko di warung sore hare hari memang biasa dilakukan oleh pemuda di kampung itu, mereka umumnya anak-anak rantau yang pulang mudik lebaran. Mereka asyiik dengan dunia masing-masing.. ada yang bergitar, ada yang main Takraw di lapangan samping warung, ada yang ngobrol.... dan sebagainya.
Sudah hampir satu jam Seffa duduk di warung itu tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya, segelas teh manis yang dipesannya belum setetes pun masuk kemulutnya.
”wuoooy.... dari tadi ngelamun aja...? napa lu..? jalan-jalan yuuk pake motor gue..” Anton datang mengagetkan Seffa.
”mang mau kemana..?”
”pokoknya ikut aja..., cuci mata Bro, dari pada lu bengong disini, ntar malah kesambet”
”Ayooo, berangkat...”
Seffa dan Anton pun berangkat. Mereka menelusuri jalan kampung menuju pasar Sungai sarik, di pertigaan pasar mereka belok kanan mengikuti jalan raya Sicincin-Pariaman. Anton sengaja memelankan laju sepeda motornya agar bisa menikmati sejuknya udara petang itu. Pas didepan plang bertuliskan SMAN 1 VII KOTO Anton belok kanan menuju arah Sungai Tareh. Entah kenapa anton membelokkan sepeda motornya kesana, jalan itu adalah jalan yang melintas di depan rumah Shesfi.
”mau kemana Ton..?”
”gue mau liat SMA gue... kangen gue”
Motor terus melaju, Hati Seffa  berdebar-debar sa’at melintas di depan rumah Shesfi. Dia tahu Shesfi dari tadi pagi berangkat ke Padang, tapi entah kenapa dadanya berdegup serasa ada yang memompa jantungnya.
Motor yang dikemudikan Anton terus melaju melewati SMA terus menelusuri jalan menuju Simpang Balai Jum’at, di pertigaan kembali bertemu jalan raya Sicincin-Pariaman, mereka belok kiri. Di Simpang Gado-Gado mereka Belok kanan menelusuri jalan Kampung Sungai Keruh diantara sawah-sawah yang menghijau, bak permadani yang dibentangkan begitu indahnya.

@@@@
Sedang asyik-asyiknya Seffa dan Anton menikmati keindahan alam, tiba-tiba terdengar suara gemuruh, diikuti goncangan yang makin lama terasa semakin keras. Orang-orang berlarian keluar rumah sambil berteriak, ”gempa...., gempa...”. Anton menghentikan laju motornya. Terlihat jelas oleh mereka rumah-rumah penduduk ambruk, anak-anak dan perempuan berteriak histeris. Jalanan tertutup kabut dari debu rumah yang rubuh.
Guncangan dahsyat selama kurang dari 60 detik itu telah meluluh lantakan Pariaman, rumah-rumah penduduk hancur, bukit longsor, jalanan dan jembatan rusak parah, beberapa kampung terisolir.
Setelah guncangan dahsyat itu berakhir, Seffa dan Anton teringat rumah dan keluarga mereka di ujung desa. Anton segera memacu motornya menuju kampung, di sepanjang jalan terlihat ibu-ibu dan anak-anak menangis, berteriak histeris, bahkan ada yang sampai pingsan, juga terlihat bangunan-bangunan hanya menyisakan atap yang menyentuh tanah.
Sesampainya di ujung desa Seffa segera melompat turun dari motor, yang ada di fikirannya hanyalah ibundanya tercinta dan adiknya July. Dari ujung lorong gang di depan rumahnya ia melihat ibu dan adiknya bersama beberapa orang penduduk kampung berdiri menggigil dengan wajah pucat ketekutan.
”Alhamdulillah mereka selamat....” Seffa mengucap syukur karena ibu dan adiknya selamat.
Setelah memastikan kondisi ibu dan adiknya. Seffa dan beberapa pemuda kampung membuat pengungsian sederhana untuk menampung masyarakat malam itu, karena semua rumah di kampung itu rusak berat. Dari sore itu sampai pagi keesokan harinya alam seakan menangis, hujan tak henti-hentinya mengguyur Bumi Ranah Minang.

@@@@@
 Sementara itu Shesfi yang sedang berada di Padang saat gempa baru saja naik TRB, gempa membuat jalanan di Kota Padang macet total. Shesfi teringat adik-adiknya di rumah. Mau nelpon tak ada jaringan. Dalam kegundahan hatinya juga muncul bayangan Seffa di benaknya. Walaupun di layar handphon-nya tertulis no signal namun ia tetap mencoba SMS Seffa.
”Aslm,.. uda gmana... keadaannya..?”
Pagi itu gerimis masih terus membasahi bumi, Seffa yang dari semalam tak bisa tidur karena kuatir keadaan Shesfi, dengan alasan mau beli bensin untuk Genset Seffa berhasil minjam motor tetangganya. Dengan motor itu ia langsung menuju rumah Shesfi. Alhamdulillah Shesfi dan adik-adiknya selamat.

@@@@
Oktober 2009
Desir ombak Pantai Pariaman sore itu masih terlihat semangat merayu hamparan pasir putih yang setia pada daratan. Tapi, keceriaannya tak mampu menghadirkan senyum pada tangisan yang melanda Ranah Minang. Guncangan hebat di akhir September itu telah meluluh lantakan sebagian wilayah Bumi Minangkabau. Seffa melepas pandangannya ke tengah laut lepas. Disana seolah terlihat kota Jakarta dengan segala kemewahannya melambai-lambaikan tangan memenggilnya untuk kembali. Yaa… telah lebih sebulan ia meninggalkan Kota impiannya itu, besok ia akan kembali ke sana, merajut kembali mimpi-mimpinya selama ini. Walau dengan sejuta kepedihan di dadanya namun ia harus tetap pergi meninggalkan orang-orang yang disayanginya.
“Besok uda akan kembali ke Jakarta Fi,.., kamu baik-baik ya…, uda juga nitip bunda dan July” Seffa berkata pada Shesfi yang tengah menatap keindahan laut untuk mengurangi kegalauan hatinya.
“iya uda,, uda kan berangkatnya besok.. ga’ usah ngomong sekarang.. ntar jadinya akan terlalu banyak kesedihan..” jawab Shesfi dengan mata berkaca-kaca.

@@@@
Siang itu cakrawala Pariaman masih belum mau menampakkan keceriaannya. Rintik-rintik hujan begitu setia menemani kesedihan yang menyelimuti Ranah Minang. Seffa baru saja selesai ngepack barang-barangnya. Sore itu ia akan kembali ke Jakarta.
“makan dulu Seffa,, ntar ga’ keburu, sudah jam dua...” kata Ibunya sambil bergegas mau mengambil nasi.
“Ntar aja mak,, masih kenyang..” jawab Seffa.
Tidak lama kemudian handphone-nya berdering. Ada SMS dari Shesfi.
“aslm., uda berangkat jam berapa…..?
“Berangkat dari rumah ke bandara jam 5 sore ini. Kamu ga’ ngasih apa-apa sama uda…? Balas Seffa
“Yudh, Fi ke rumah uda, bawain sesuatu…”
“ga’ usah Fi.. ini kan Hujan.. uda hanya bercanda”
“Cuma gerimis kok, tapi seandainya waktu tak membawa Fi bertemu uda sekarang, Fi kan berdo’a semoga waktu kan merangkul uda dengan sejuta kehangatan dan kebahagiaan disana”

@@@@
Gerimis sudah mulai reda, meskipun mentari tetap tidak mau menampakan senyumannya pada bumi. Shesfi ditemani Popy sedang diperjalanan menuju rumah Seffa. Tangan kanannya tampak memegang seikat Bunga Akar rumput kering yang akan diberikannya pada Seffa sebagai kenang-kenangan,. Sebagai mahasiswi jurusan biologi Shesfi memang mempunyai banyak koleksi bunga-bunga kering. Alasannya memberi bunga akar rumput buat Seffa adalah karena itulah satu-satunya benda yang ia ambil dengan tangannya sendiri di hutan Taman Raya Bung Hatta.
Setengah jam kemudian mereka sudah sampai di rumah Seffa. Emak menyambut dengan ramah “eh... ada tamu.. mari masuk, Seffa belum berangkat...”.
Sementara July segera memberi tahu abangnya kalau ada kak Shesfi datang. Seffa segera menuju ruang depan rumah.
“maksain banget sih mo kesini Fi..? ni kan hujan..”
“udah ga’ hujan uda.....”
“kalau begitu...., kamu bawa apa buat uda...”
“Nih..., moga benda ini bisa menemani uda disana...”
Seffa mengambil bunga kering pemberian Shesfi, ingin rasanya ia menangis, namun ia malu pada Ibunya.
“Memangnya berangkat jam berapa uda..?” Shesfi mencairkan lamunan Seffa.
“neh lagi nungguin si-Rozi ngambil motor yang akan mengantar uda ke bandara,...”
“pakai motor...? ntar kalau hujannya deras gimana...”
“makanya do’ain biar ga’ hujan...”
“Amiiin....” koor suara Shesfi, Emak, July dan Popy.

@@@@
Awan hitam hari itu tampak begitu setia menemani perjalanan Seffa meninggalkan Ranah Minang. Sesekali rintik gerimis turun membasahi bumi. Rozi yang mengantar Seffa mempercepat laju motornya, ia berusaha agar tidak kehujanan di jalan, ia tidak ingin Seffa basah-basah sampai di bandara. Dari pertigaan Polsek VII Koto, Rozi belok kanan menuju Simpang empat, di Simpang Empat belok ke kiri melintasi jalan yang menghubungkan kecamatan VII Koto dan Kecamatan Nan Sabaris. Dari Nan Sabaris di simpang Balai Basuo motor dibelokkan menuju arah Ulakan melewati makam Syekh Burhanuddin, ulama penyeber Islam di Minangkabau.
Sepanjang jalan mata Seffa berkaca-kaca menyaksikan Negerinya yang hanya menyiksakan puing-puing akibat gempa, tampak masyarakat bertumpuk-tumpukan dalam tenda-tenda darurat. Mereka kedinginan, mereka kelaparan, anak-anak mereka tidak dapat sekolah, rumah mereka hancur, mereka kehilangan harapan, setiap hari mereka menantikan bantuan yang masih menumpuk di kantor Bupati. Entah karena sebab apa pendistribusian bantuan pemerintah untuk korban gempa berjalan sangat lamban. Bahkan kalah dibanding bantuan-bantuan dari pihak swasta telah mencapai pelosok-pelosok terpencil.
Setelah satu jam perjalanan, Seffa sampai di Bandara Internasional Minangkabau mendekati waktu magrib, Rozi mengantar sampai pintu masuk, kemudian mereka berpisah. Setelah melakukan Check-In Seffa segera menuju Mushala untuk shalat magrib. Selesai shalat ia segera memasuki ruang tunggu, lima belas menit kemudian terdengar pemberitahuan agar penumpang pesawat Mandala tujuan Jakarta segera memasuki pesawat. Sa’at memasuki pesawat Seffa merasa benar-benar telah jauh dari kampungnya, ia merasa sangat jauh dari emak, July, dan juga Shesfi. Air matanya kembali tumpah membasahi pipinya. Senyuman manis dan sapaan lembut seorang pramugari cantik tak mampu mengobati kesediahan hatinya.

@@@@
Semoga bermanfaat
Salam cinta secinta-cintanya

(^_^)
SYAIFUL PUTRA

Episode selanjutnya klik disini

Baca Juga Artikel Berikut:

0 komentar:

Posting Komentar

Coment's box (No spam, No Porn)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by IPUL